Masjid Agung Demak
merupakan Masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau Wali Songo.
Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak ± 26 km dari Kota Semarang,
± 25 km dari Kabupaten Kudus, dan ± 35 km dari Kabupaten Jepara. Masjid ini merupakan
cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak.
Walisongo atau Walisanga
dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka
tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Sejarah
Masjid ini dipercayai
pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini
diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak
sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali
Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus.
Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti
yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti
angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0
(nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid
Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1
Shofar.
Struktur Bangunan dan
Nilai Historis

Penampilan atap limas
piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian
; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu
Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani,
dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden Patah bersama Wali
Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus.
Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti
yang bermakna tahun 1401 Saka.
Soko Majapahit, tiang ini
berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari
Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika
menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
Pawestren, merupakan
bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan
konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari
kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4
diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat
berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya
Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang
menerakan tahun 1866 M.
Surya Majapahit ,
merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para
ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya
Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
Maksurah , merupakan
artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika
unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid.
Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan
ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287
H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo
Purbaningrat.
Pintu Bledheg, pintu yang
konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada
zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi
Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Mihrab atau tempat
pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti
“Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”,
bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab
sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan
sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
Dampar Kencana , benda
arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk
Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi.
Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara
universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan
Patih Gajah Mada.

Yang berada di barat laut
didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian
tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan
Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai
Soko Tatal.
Menara, bangunan sebagai
tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja
sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai
para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak),
R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo